Lanjut ke konten

MEMAHAMI KORUPSI UNTUK TIDAK KORUPSI

Desember 22, 2011

dari Sahrul Hakim

Korupsi yang sudah lama menjangkiti, ternyata tidak terjadi begitu saja. korupsi adalah hasil belajar seseorang yang kemudian diajarkan lagi kepada orang lainnya. Faktor terpenting dari tindakan korupsi adalah manusia. Kita sudah mengetahui bahwa manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial. Sebagai individu, manusia menampilkan diri probadi yang memiliki cipta, rasa dan karsa. Sebagai makhluk sosial, manusia mempertahankan eksistensinya melalui proses interaksi dengan manusia lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak akan pernah ada manusia yang benar-benar bisa hidup tanpa bantuan, tanpa berhubungan dengan manusia lain.
Beberapa teori bisa dikedepankan mengenai bagaimana proses belajar korupsi berlangsung:
1. Teori belajar sosial (social learning theory) dari Albert Bandura, menyatakan bahwa manusia belajar banyak melalui peniruan, dengan menyerap informasi, pandangan, pengamatan dan motivasi dari orang-orang yang ada disekitarnya.
2. Teori perilaku menyimpang (Differential Association Theory) dari Edwin H. Sutherland, menjelaskan bahwa perilaku mrnyimpang/kriminal diajarkan dan dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang yang menyimpang/kriminal lainnya, seperti teknik kejahatan, alasan, motif, rasionalisasi dan sebagainya.
Secara sederhana kedua tori ini menjelaskan bahwa setiap orang berpotensial untuk melakukan tindak kejahatan jika selalu dihadapkan pada persoalan kriminal. contoh. bayi yang lahir dan dibesarkan di Palembang dari kedua orang tua Palembang tentunya akan belajar bahasa Palembang. Tentunya jika seseorang dilahirkan dan dibesarkan dengan lingkungan yang permisif terhadap tindakan kriminal akan mendorong dirinya untuk berbuat yang serupa.
Bila manusia dibesarkan dalam lingkungan yang sudah terbiasa dengan perbuatan yang cenderung menyimpang, yang menganggap memberi uang pelicin agar urusannya lancar adalah biasa, lingkungan yang berpandangan bahwa menerima hadiah atau pemberian yang berkaitan dengan tugasnya adalah wajar bahkan suatu keharusan, lingkungan yang terbiasa me-mark up kuitansi pengeluaran agar bisa diambil selisihnya untuk keuntungannya, maka orang tersebut akan terdorong untuk melakukan perbuatan menyimpang tersebut.
Demikian juga dengan korupsi. Mungkin pada awalnya hanya coba-coba, kecil-kecilan. Contoh seorang fasilitator kecamatan yang karena terdesak oleh kebutuhan pokoknya dan karena melihat rekan-rekan kerjanya yang melakukan itu aman-aman saja maka dia kemudian mencoba menggelembungkan harga di RAB diatas harga yang wajar untuk diambil selisih harganya. Dia berhasil untuk pertama kalinya dan berniat untuk berhenti karena kebutuhan mendesaknya telah terpenuhi, namun dia tidak dapat berhenti, karena jika dia berhenti, maka perbuatan sebelumnya akan terbongkar, oleh karenanya dia kemudian mempelajari bagaimana cara agar tidak ketahuan, bertanya ke kanan-kiri. Demikian seterusnya sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan ketagihan untuk berbuat serupa, bahkan mengembangkan modusnya agar benar-benar tidak akan pernah terdeteksi.
Beberapa teori tentang korupsi
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya praktik korupsi.
1. Teori Vroom.Teori Vroom menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kinerja seseorang dengan kemampuan dan motivasi yang dimiliki sebagaimana tertulis dalam fungsi berikut:
P = f (A x M)
P = Performance
A = Ability
M = Motivation
Berdasarkan Teori Vroom tersebut, kinerja (performance) seseorang merupakan fungsi dari kemampuannya (ability) dan motivasi (motivation). Kemampuan seseorang ditunjukkan dengan tingkat keahlian (skill) dan tingkat pendidikan (knowledge) yang dimilikinya. Jadi, dengan tingkat motivasi yang sama seseorang dengan skill dan knowledge yang lebih tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Hal tersebut terjadi dengan asumsi variabel M (Motivasi) adalah tetap. Tetapi Vroom juga membuat fungsi tentang motivasi sebagai berikut:
M = f (E x V) M = Motivation
E = Expectation
V = Valance/Value
Motivasi seseorang akan dipengaruhi oleh harapan (expectation) orang yang bersangkutan dan nilai (value) yang terkandung dalam setiap pribadi seseorang. Jika harapan seseorang adalah ingin kaya, maka ada dua kemungkinan yang akan dia lakukan. Jika nilai yang dimiliki positif maka, dia akan melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum agar bisa menjadi kaya. Namun jika dia seorang yang memiliki nilai negatif, maka dia akan berusaha mencari segala cara untuk menjadi kaya salah satunya dengan melakukan korupsi.
2. Teori Kebutuhan Maslow.
Maslow menggambarkan hierarki kebutuhan manusia sebagai bentuk piramida. Pada tingkat dasar adalah kebutuhan yang paling mendasar. Semakin tinggi hierarki, kebutuhan tersebut semakin kecil keharusan untuk dipenuhi. Hierarki tersebut terlihat dalam piramida berikut ini:
Gambar 1. Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori Kebutuhan Maslow tersebut menggambarkan hierarki kebutuhan dari paling mendasar (bawah) yaitu hingga naik paling tinggi adalah aktualisasi diri. Kebutuhan paling mendasar dari seorang manusia adalah sandang dan pangan (physical needs). Selanjutnya kebutuhan keamanan adalah perumahan atau tempat tinggal, kebutuhan sosial adalah berkelompok, bermasyarakat, berbangsa. Ketiga kebutuhan paling bawah adalah kebutuhan utama (prime needs) setiap orang. Setelah kebutuhan utama terpenuhi, kebutuhan seseorang akan meningkat kepada kebutuhan penghargaan diri yaitu keinginan agar kita dihargai, berperilaku terpuji, demokratis dan lainya. Kebutuhan paling tinggi adalah kebutuhan pengakuan atas kemampuan kita, misalnya kebutuhan untuk diakui sebagai kepala, direktur maupun walikota yang dipatuhi bawahannya.
Jika seseorang menganggap bahwa kebutuhan tingkat tertingginya pun adalah kebutuhan mendasarnya, maka apa pun akan dia lakukan untuk mencapainya, termasuk dengan melakukan tindak pidana korupsi.
3. Teori Klitgaard.
Klitgaard memformulasikan terjadinya korupsi dengan persamaan sebagai berikut:
C= M + D – A
C = Korupsi
M= Monopoly of Power
D= Discretion of official
A= Accountability
Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi.
4. Teori Ramirez Torres.
Menurut Torres suatu tindak korupsi akan terjadi jika memenuhi persamaan berikut:
Rc > Pty x Prob
Rc = Reward
Pty=Penalty
Prob=Probability (kemungkinan tertangkap)

Dari syarat tersebut terlihat bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil (Rc=Reward) yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman (Pty=Penalty) yang didapat dengan kemungkinan (Prob=Probability) tertangkapnya yang kecil.
5. Teori Jack Bologne (GONE)
Menurut Jack Bologne akar penyebab korupsi ada empat, yaitu:
G = Greedy
O = Opportunity
N = Needs
E = Expose
Greedy, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy, sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Needs, sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain. (www.kpk.go.id)
Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio/corruptus yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Kata tersebut kemudian turun kebanyak bahasa di Eropa, seperti Inggris corruption, corrupt; bahasa Belanda corruptie/korruptie. Dari bahasa Belanda tersebut kemudian terserap kedalam bahasa Indonesia “korupsi”.
Menurut Kamus Hukum, (2002), Korupsi adalah penyelewengan/penggelapan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi/orang lain.
Ong Hok Ham mendefinisikan korupsi sebagai Tindakan Penyalahgunaan kekuasaan (Abouse of Power) oleh Pejabat Negara yang mendapatkan amanah dari rakyat untuk mengelola kekuasaan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perspektif hukum, definisi korupsi secara jelas telah dipaparkan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara:
2. Suap-menyuap:
3. Penggelapan dalam jabatan:
4. Pemerasan
3. Perbuatan curang:
4. Benturan kepentingan dalam pengadaan
5. Gratifikasi
Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Merujuk pada pasal tindak pidana korupsi yang paling banyak digunakan yaitu pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, maka unsur tindak pidana korupsi adalah :
1. Setiap orang
2. dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
3. Tindakan melawan hukum
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, merumuskan unsurnya:
1. Setiap orang
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
3. Meyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
4. yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Aspek Pidana dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001
‣ Jenis pidana yang diancamkan berupa hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara waktu tertantu (1-20 th), denda (50 juta – 1 M)
‣ Pidana mati dapat dijatuhkan (pasal 2) jika korupsi dilakukan dalam hal waktu tertentu, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, krisis moneter, atau pengulangan korupsi.
‣ Ketentuan pidana mengenal pidana minimal khusus dan maksimal khusus sebagai batasan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku.
‣ Pidana bagi percobaan, pemufakatan jahat, pembantuan tidak ada pengurangan 1/3 sebagaimana dalam KUHP, akan tetapi dipidana sama seperti pelaku, (pasal 15 dan 16).
‣ Pidana tambahan (pasal 18) berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan usaha, pencabutan hak.
‣ Adanya pidana penyitaan harta benda pengganti dari uang pengganti yang tidak dibayarkan
‣ adanya pidana penjara pengganti jika terdakwa tidak mampu membayar pidana pembayaran uang pengganti dengan maksimum tidak melebihi pidana pokoknya.
‣ Pidana denda bagi pelaku korporasi diperberat ditambah 1/3 dari pidana pokok untuk pelaku orang/manusia (pasal 20).
Dampak Korupsi
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan dengan jelas, “… Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua, maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa….” Dikatakan luar biasa karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan telah menghambat pembangunan nasional. Selain itu, korupsi telah merusak tata nilai berbangsa dan bernegara, mengancam kemajuan pendidikan, merampas hak-hak masyarakat untuk dapat hidup sejahtera, merusak lingkungan hidup, dan melemahkan mental bangsa.
Segi ekonomi :
‣ menyebabkan tidak terdistribusinya sumber daya secara merata dan adil, serta biaya ekonomi / harga kebutuhan pokok tinggi (pungutan liar)
‣ Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
‣ Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
Segi Sosial Budaya
‣ menyebabkan perubahan pola perilaku masyarakat yaitu membangun mental penipu dan penjilat.
‣ Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
Segi Politik
‣ menyebabkan proses pengambilan kebijakan berjalan tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan pelayanan mahal.
‣ Korupsi mendelegitimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
‣ Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law.
Segi Hukum
‣ menyebabkan diskriminasi dalam penegakan hukum.
Korupsi dan Penyalahgunaan Dana dalam PNPM Mandiri Perdesaan
Sepanjang tahun 2010 dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan ditemukan dan telah dilaporkan sebanyak 571 masalah penyalahgunaan dana dengan nilai penyelewengan Rp.28,422,798,221,- telah dikembalikan senilai Rp.8,583,635,182. Sebanyak 753 ditangani melalui jalur non litigasi dengan 254 diantaranya dinyatakan selesai. adapun sisanya sebanyak 43 kasus ditangani melalui jalur litigasi dengan 11 diantaranya telah dinyatakan selesai.
Kesebelas kasus yang sudah diputus tersebut semuanya menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi, 10 diantaranya menggunakan pasal 3 dan 1 pelaku dijerat dengan pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999.

Mengapa dipilih tindak pidana korupsi bukan tindak pidana biasa ?
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary) sehingga penanganannya pun dilakukan secara luar biasa, penanganan tindak pidana korupsi mendiskresikan KUHP.
Beberapa keuntungan memilih tindak pidana korupsi:
1. proses penanganannya didahulukan dibandingkan tindak pidana lain.
2. dapat dilakukan pengadilan in absentia
3. putusan dapat kumulatif-alternatif, sehingga memungkinkan dana kembali ke Program PNPM MPd:
a. terhadap dana yang diduga diperoleh dari hasil korupsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-28/A/Ft.1.05/2009 tanggal 11 Mei 2009 tentang Penentuan status benda sitaan/barang bukti dan uang pengganti dalam amar surat tuntutan.
b. berdasarkan surat edaran ini maka terhadap a) benda sitaan/barang bukti yang telah diketahui haknya merupakan milik institusi yang dirugikan; b) benda sitaan/barang bukti yang diperoleh dari hasil korupsi; c) harta benda yang diserahkan secara sukarela oleh terdakwa atau pihak lain dalam rangka mengembalikan kerugian negara, maka jaksa penuntut dalam amar tuntutannya menyatakan “diserahkan kembali kepada institusi yang secara langsung dirugikan akibat tindak pidana korupsi.
Beberapa kelemahan dalam penanganan melalui tindak pidana korupsi:
1. Biaya yang cukup besar. Saat ini diseluruh Indonesia baru terbentuk 18 Pengadilan Tipikor di 18 provinsi dari seharusnya ada diseluruh provinsi sebagaimana amanat pasal 35 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Contoh Provinsi Kepri yang bersidang di Pekan Baru karena belum memiliki Pengadilan Tipikor sendiri, Sulawesi Barat yang mengikut ke Sulawesi Selatan.
Saat ini didalam kegiatan Ruang Belajar Masyarakat memang sudah dianggarkan dana bantuan advokasi hukum sebesar Rp.10.000.000,- namun hal tersebut dirasakan belum cukup khususnya untuk mengkover biaya transportasi terutama untuk saksi-saksi yang kebanyakan dari RTM (pemanfaat program).
2. Penaksiran kerugian negara harus melalui institusi resmi (auditor negara) dalam hal ini BPKP. Berbeda dengan tindak pidana biasa yang bisa menyandarkan nilai kerugian dari hasil investigasi fasilitator/konsultan, dalam tindak pidana korupsi harus berdasarkan hasil audit resmi dari auditor pemerintah. Permasalahan terjadi karena BPKP hanya memiliki 25 perwakilan di seluruh Indonesia, sehingga hal ini dapat menghambat kecepatan progres penanganan. Kendala ini dapat diatasi salah satunya dengan melakukan kerja sama dengan lembaga pengawas tingkat provinsi / kabupaten (Irda)

Modus Penyalahgunaan Dana
1. Memalsukan tanda tangan, bukti, dokumen, buku kas, dll
2. Merayu, membohongi, menipu pengurus
3. Merekayasa, membuat data/laporan yang tidak benar
4. Merakayasa anggaran (mark up)
5. Menggelapkan dana
6. Membentuk kelompok fiktip
7. Merekayasa pelelangan, bekerjasama dengan suplayer
8. Bekerjasama dengan pihak internal, menganjurkan pelanggaran
9. Tidak tinggal dilokasi tugas
10. Tidak melaporan masalah bahkan ditutupi
11. Bekerjasama dengan pihak eksternal (bank).
Faktor Penyebab
Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya korupsi dan penyalahgunaan dana dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan:
Faktor Internal:
1. Faktor yang ada dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya demi keuntungan pribadi dan atau kelompok, termasuk didalamnya adalah fasilitator yang menggangap status pendamping yang lebih tinggi dari yang didampingi (sub ordinat);
2. Keterpaksaaan karena rendahnya pendapatan, kemiskinan, kebutuhan keuangan atau kerakusan;
3. Renggang atau turunnya Nilai-nilai sosial, keagamaan dan budaya masyarakat yang digantikan dengan nilai-nilai Materialisme, Pragmatisme dan Konsumerisme. (Budaya memberi upeti, imbalan jasa & hadiah, Budaya permisif/serba membolehkan dan Langkanya lingkungan yg antikorup)
Faktor Eksternal
1. Longgarnya Sistem Pengawasan, terutama Pengawasan Internal (termasuk didalamnya kendali manajemen, penerapan sanksi
2. Belum berfungsi optimalnya Pengawasan oleh Masyarakat
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa korupsi berkembang melalui proses belajar, dalam pelaksanaan PNPM MPd maka proses belajar ini dilakukan secara berjenjang. Seorang FK akan belajar dari Faskab, Faskab belajar dari tim provinsi, provinsi belajar dari tim yang ada di pusat. Contoh seorang faskab yang tidak tinggal di lokasi tugas maka bisa dipastikan perbuatannya akan di contoh oleh para FK yang ada dibawah supervisinya. Tim Provinsi yang tidak menerapkan sanksi terhadap pelanggaran dengan tegas, misal pelaku penyalahgunaan dana hanya diberi teguran bukannya di PHK maka perilaku ini akan menjadi entry poin dari suburnya penyalahgunaan dana di provinsi yang bersangkutan.
Tindakan pencegahan Korupsi dalam PNPM MPd
Desain penanganan masalah di PNPM Mandiri Perdesaan memang lebih mengedepankan pendekatan non litigasi untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi sehingga upaya penanganan penyalahgunaan dana lebih diarahkan pada tindakan pencegahan.
Beberapa bentuk tindakan pencegahan yang harus dilakukan seperti:
1. Membangun struktur pengendalian internal yang baik.
BPKP dalam melakukan audit terhadap pelaksanaan PNPM MPd selalu menguji struktur pengendalian internal ini melalui pendekatan COSO Frame Work, yaitu : 1) Lingkungan Pengendalian yang terdiri dari Integritas dan nilai etika, Komitmen terhadap kompetensi, Filosofi dan gaya operasi manajemen, Struktur organisasi, Pemberian wewenang dan tanggungjawab, Kebijakan dan praktik sumber daya manusia; 2) Penilaian Resiko terhadap pencapain tujuan; 3) Standar Pengendalian yang memastikan apakah semua bimbingan, arahan, rekomendasi sudah dilaksanakan dengan baik; 4) Arus informasi dan komunikasi yang mendukung dan memungkinkan para pelaku program melaksanakan tugasnya dengan baik; dan 5) Pemantauan untuk memastikan prinsip dan prosedur telah dijalankan.
2. Mengefektifkan aktivitas pengendalian
a. Review atas Kinerja Fasilitator/Konsultan secara rutin dan berbasiskan KPI
b. Pengolahan informasi dan data baik ketepatan, kelengkapan dan validitas yang terotorisasi.
c. Pengendalian kegiatan lapangan melalui supervisi dan monitoring yang kontinyu dan terarah.
d. Pemisahan tugas, misalnya kontrol terhadap penarikan dana, pemberian tanggung jawab yang berbeda antara yang memberikan otorisasi dengan yang membukukan transaksi.
3. Peningkatan kultur dan prinsip kerja
a. Keadilan
b. Transparansi
c. Akuntabilitas
d. Tanggung jawab
e. Moralitas
f. Komitmen

4. Mengembangkan pengawasan berbasis komunitas
5. Menerapkan sanksi secara tegas terhadap setiap pelaku pelanggaran
6. Deteksi Dini
Sebagian besar biasanya dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, pengaduan dari berbagai pihak, atau suplayer yang tidak puas dan menyampaikan keluhan. Saat ini sedang dikembangkan Sistem Pengelolaan Pengaduan dan Masalah secara terpadu berbasikan aplikasi web. (www.pnpm-perdesaan.or.id).
Pendeteksian berikutnya dapat dilihat dari karakteristik sipenerima maupun si pemberi.
Karakteristik si penerima Karakteristik si Pemberi
– Mengambil Hadiah
– Tingkah laku tidak lazim
– Melanggar Aturan
– Suka Mengeluh
– Peningkatan Kebutuhan – Hasil Pekerjaan buruk
– Kualitas Rendah, Harga Tinggi
– Penawaran selalu berhasil (dalam kasus pelelangan)
– Beroperasi sendirian.

Graha 3 Pejaten, Mei 2011
Sumber Pustaka
– Juklak Audit BPKP untuk PNPM Mandiri Perdesaan
– Laporan Evaluasi Penanganan Masalah PNPM Mandiri Perdesaan
http://www.kpk.go.id
http://www.transparansi.or.id
– Materi orientasi bagi fasilitator Provinsi Maluku Utara

From → WACANA

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar